Oleh HAFIZH UTSMAN SAUM
SAUM bukan merupakan hal baru, tetapi justru harus dijadikan arena tafakur ulang tentang pengamalan aturan-aturan agama sehingga menjadi tradisi dan budaya yang merupakan salah satu unsur untuk menopang kokohnya eksistensi bangsa.
PERIHAL puasa bukanlah hanya merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam sekarang. Umat yang dahulu dengan bimbingan para rasulnya juga dikenai kewajiban puasa.
Kaum Bani Israil dahulu, cara puasanya dimulai sejak tidur malam, kapan saja ia memulai tidur hingga waktu terbenam mata hari, dan tentu saja tidak saur.
Maksud ditentukannya syariat (aturan) berpuasa, agar manusia bertaqwa kepada Allah Subhana Wa Ta'ala. Hal itu tercantum pada ayat 183 surat Al-baqarah, bahwa shiam yakni puasa (the fast) diwajibkan agar supaya manusia melaksanakan aturan Allah, yang wajib dikerjakan dan yang haram ditinggalkan (takwa).
Kata-kata shiam sama dengan kata-kata shaum dalam bahasa Arab. Ini menjadi kata-kata serapan dalam bahasa Sunda dengan menjadi penggunaan bahasa Shiam untuk waktu, dikatakan "sasih siam", sedangkan Shiam untuk perbuatan seperti ungkapan "saum henteu", pertanyaan apakah orang itu sedang berpuasa atau tidak.
Bahasa agama sudah menyerap menjadi bahasa masyarakat Sunda. Dapat diambil contoh lain Ramadan sebagaimana bulan ke-9 dalam hitungan Tahun Hijriah, juga digunakan menjadi nama karena dilahirkan pada bulan Ramadan.
Jadilah seseorang diberi nama Romdon, Ramdan, Romdoni, Ramdani, atau disebut dengan ucapan Ramlan, sebagaimana zhuhur, zhohor menjadi lohor.
Dalam kebiasaan masyarakat untuk mendidik anak dikenal ungkapan "puasa bedug", di mana seorang anak dididik berpuasa oleh ayah ibunya. Walaupun ia bangun kesiangan tetap disuruh makan pagi dulu, tetapi harus puasa sampai waktu bedug berbunyi tanda masuk waktu Zuhur.
Nanti anak itu disuruh puasa lagi hingga waktu magrib, saat buka bersama. Saat buka dalam bahasa kita ada istilahkan dengan takjil. Takjil ini asal kata bahasa Arab ta'jil yang berarti menyegerakan buka. Hal ini sebagaimana dianjurkan Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam agar kita menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.
Kata sahur pun arti sesungguhnya adalah waktu menjelang fajar subuh. Karena makan pada saat sahur makan dinamakan makan sahur.
Berarti perihal makna saum bukan merupakan hal baru, tetapi justru harus dijadikan arena tafakur ulang tentang pengamalan aturan-aturan agama sehingga menjadi tradisi dan budaya yang merupakan salah satu unsur untuk menopang kokohnya eksistensi bangsa.
Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: "Telah datang kepadamu Ramadan bulan yang penuh berkah, Allah Subhana Wa Ta'ala mewajibkan kepadamu puasa pada bulan itu, dibuka pintu-pintu langit untuk istighfar, ditutup pintu-pintu neraka jahim, syetan-syetan dibelenggu agar tidak menggoda dan pada bulan Ramadan terdapat suatu malam yang lebih mulia ketimbang seribu bulan yakni Lailatul qadar. Barang siapa lalai tidak menyambut kehadiran bulan ini maka sungguh pasti ia akan merugi (H.R. Ahmad An-nasa'i dan Ali Baehaqi)".
Semoga saum Ramadan ini betul-betul meningkatkan kualitas taqwa kita bersama. Jangan biarkan Ramadan berlalu tanpa makna.
Wallohu a'lam bisshowab.***
0 komentar:
Posting Komentar