Alhamdulllahilladzi anzala sakinata fiiqulubil mu’minin liyzdaadu iimanan ma’aa immanihim. Asyhaduanlaailahailallah wa asyhadu anna muhammadurrasulullah.
Ah, lagi-lagi tentang cinta. Anugerah Sang Pencinta kepada hamba-hamba-Nya yang telah membuat bumi ini “berputar”. Dengan cinta hidayah ini sampailah kepada kita. Dan atas nama cinta pula Fir’aun-Fir’aun berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dengan cinta kita dilahirkan. Dan atas nama cinta pula jutaan bayi dibunuh bahkan sebelum ia lahir di negeri ini. Ah, cinta cinta…
Maka telah sampailah petunjuk kepada kita petunjuk dari Sang Pencinta Sejati. Agar cinta menjadi kebahagian, agar cinta tidak menjadi jalan kepada kesengsaraan abadi di akhirat maupun “uang muka”-nya di dunia. Jelas lah memang manusia diciptakan dengan kecenderungan kepada lawan jenis sebagaimana yang Ia sampaikan,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar Ruum: 21)
Agar manusia menjadi bahagia dan merasakan indahnya cinta yang suci dan diridhai seperti cintanya Muhammad dan Khadijah. maka Ia pun mengingatkan,
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran: 14-15)
Agar manusia ingat tujuannya diciptakan, dan ia tahu mana yang oasis dan mana yang fatamorgana. Di ayat lain disampaikan,
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. (QS. An Nahl 106-107)
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. At Taubah: 24)
Cinta punya hierarki, kata Ustadz Anis Matta. Awal dari sebuah bencana adalah rusaknya hierarki tersebut. Hierarki tersebut adalah memberikan cinta yang tertinggi hanya kepada Allah swt kemudian rasul-Nya. Cinta-cinta kepada yang lain pada hakikatnya hanyalah konsekuensi dari cinta kepada Allah swt.
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS. Al Baqarah: 165)
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)
Itu artinya, cinta kepada sesuatu semestinya karena, sebagaimana diminta, dan untuk cinta kita kepada Allah swt dan Rasulullah saw. Cinta dikarenakan dan untuk Allah swt dan diwujudkan sebagaimana teladan kita Nabi Muhammad saw melakukannya. Di antara ciri-cirinya ada di dua ayat berikut,
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Ma’idah: 54)
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shaleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, (QS. At Taubah: 120)
Maka dalam konteks cinta kepada lawan jenis, Islam membingkainya dengan agung dan indah; sebuah pernikahan. Pernikahan akan tumbuh menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah jika dan hanya jika prosesnya menuju perjanjian agung itu benar-benar suci sebagiamana yang Allah kehendaki. Selain itu faktor kesiapan dalam semua dimensinya juga menjadi pra syarat tumbuhnya sebuah keluarga yang Allah ridhai. Namun selain itu ada juga faktor aksiomatik yang wajib diyakini oleh seorang muslim.
Yang pertama adalah,
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS. An Nuur: 26)
Default-nya manusia akan dipasang-pasangkan berdasarkan kualitasnya. Walaupun ada pengecualian seperti dijelaskan dalam surat At Tahrim ayat 10-11. Yaitu istri-istri yang tidak beriman walaupun suaminya adalah para nabi yaitu istrinya Nabi Nuh dan istrinya Nabi Luth. Atau sebaliknya, istri yang shaleh dan suaminya orang yang zalim, yaitu Siti Asiah, istrinya Fir’aun.
Yang kedua adalah bahwa jodoh adalah hak prerogratif-Nya Allah swt. Dalam sebuah hadits disampaikan bahwa begitu manusia ditiupkan ruhnya maka ada tiga hal yang ditetapkan; ajalnya, tempatnya di surga/ neraka, rezekinya, dan jodohnya.
Maka, jika kita menginginkan istri seperti Khadijah, maka buatlah diri kita seperti Muhammad, atau sebaliknya. Berikutnya, jodoh pasti akan datang entah kapan, di mana, dan siapa. Yang kita tahu adalah persiapkan lah diri kita sebaik mungkin untuk hal itu. Bila waktunya, ia akan menjadi seperti air yang turun dari langit lalu jatuh menetes ke bumi. Selain itu, pastikanlah bahwa prosesnya benar-benar ahsan, baik, berihktiar untuk bersih dari nafsu yang membabi buta. Dan tentang siapa yang dicintai, cintailah sosoknya, kejarlah karakternya. Mintalah kepada Allah swt hal itu, karena itu yang lebih abadi, bukan semata orangnya. Mohonlah yang terbaik, bukan si A, si B, atau si C. Karena banyak orang tergelincir dalam hal ini karena cintanya ditujukan kepada orangnya secara berlebihan. Kata orang, cinta dan hawa nafsu bedanya sangat tipis.
Selain itu, saya ragu bahwa itu adalah cinta yang sejati…
Kawan, bersyukurlah bahwasannya Allah swt telah menetapkan dalam kitab-Nya yang mulia,
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah: 216)
Wallhu’alam bi shawab
Sumber:
Muhammad Rihan Handaulah
0 komentar:
Posting Komentar